Sabtu, 19 Februari 2011

"Arwah Goyang Karawang" Cuma Jual Sensasi

ARWAH Goyang Karawang (AGK), menjadi sensasi pascaperseteruan Julia Perez  (Jupe) dan Dewi Perssik (DP). Tidak hanya itu, nyaris seperti Ketika Cinta Bertasbih 1 yang menempelkan label ‘Mesir Asli’, AGK pun melabeli posternya dengan tulisan ‘Termasuk Adegan Asli’.
Shanker, sang produser, sadar betul bahwa perseteruan Jupe-DP yang sudah menyeret hukum itu sudah menjadi komoditas. Kesengajaan menjadikan perseteruan itu menjadi komoditas pun tercermin dari adegan pertengkaran selama lima menit yang diunduh di YouTube. Lengkap dengan teks ajakan menonton AGK di akhir klip.
Murahan? Mungkin. Namun orang-orang yang sudah bikin film dengan jerih payah itu pasti akan mengatakan kalau inilah keinginan masyarakat. Yah, kasihan sekali rakyat-rakyat kita: menonton sampah yang tersedia, dibiarkan menikmati suntikan sensasi dua pemainnya yang sedang berseteru. Sampai akhirnya ABG dan dewasa yang penasaran membanjiri gedung bioskop di akhir pekan, di hari Valentine, dan di  Maulid Nabi SAW. Sungguh satir.
Kisah film Arwah Goyang Karawang berawal ketika Lilis (Julia Perez) terpaksa kembali menjadi penari di sebuah grup tari jaipong Goyang Karawang karena keadaan ekonomi. Suaminya, Aji (Erlando) di-PHK dan sudah lama menganggur. Aji juga digambarkan pelaku KDRT. Lilis pun kembali mengulang kejayaannya dengan kembali bergabung di pub Bintang Kejora.
Sayang, dia harus mengulanginya dari awal karena pub itu sudah memiliki primadona sendiri. Adalah Neneng (Dewi Perssik) yang sudah mendapat banyak perhatian karena tariannya. Pada suatu malam Lilis pun memancing perhatian. Ia mencampurkan tarian jaipong dengan erotisme. Para penonton yang didominasi laki-laki pun pada keblinger. Lilis pun menjadi primadona dalam sekejap, dan dengan mudah diangkat untuk mengisi acara utama dengan bayaran wah oleh si bos. Neneng pun iri karena posisinya telah digantikan.
Kemudian dengan tiba-tiba dan nganeh-nganehi beberapa pengunjung, si bos, dan perempuan yang berselingkuh dengan suami Lilis pun mati dengan mengenaskan. Aji kemudian mencari tahu hingga ia mendapatkan kejelasan kalau Lilis ternyata memiliki saudara kembar bernama Lela.
Ketika masih remaja Lilis dan Lela adalah saudara kembar yang bisa menari jaipong. Sayang, Lilis yang lebih kalem dan pendiam lebih banyak mencuri perhatian. Termasuk perhatian dari Aji. Lilis juga sempat diajak syuting ke luar negeri oleh seorang bule yang akan memfilm dokumenterkan kesenian Karawang. Namun Lela yang iri akhirnya melakukan tindakan fatal. Karena emosi, ia membuat saudara kembarannya koit. Meski tidak sengaja, namun bagaimanapun kecemburuan dan amarahnya tetap menguasai. Lilis  pun dikesankan gantung diri. Intinya, Lela pun menyamar jadi Lilis, menikahi Aji, dan orang-orang pun menyangka kalau yang bunuh diri itu Lela, bukan Lilis.
Nah, bagian ending ini memberikan kebingungan yang mungkin luar biasa pada penonton awam. Bahkan teman saya yang ‘telat’ itu ngaku bingung. Saya juga agak bingung juga karena scenesebelumnya adalah potongan-potongan gambar yang diedit kacau, tidak rapi, dan campur aduk musik score.
Arwah Goyang Karawang. Dari judul saja sudah cukup mengganggu. Arwah identik dengan sesuatu yang punya ruh. Dan goyang Karawang jelas tidak memiliki ruh, kecuali dalam ari konotatif/kiasan/simbolisme. Kalau judulnya memang berkesan simbol, mungkin saya maafkan. Namun film ini telah identik dengan arwah si penari goyang karawang. Nah, kalau maksudnya begini, alangkah baik kalau judulnya Arwah Penari Goyang Karawang.
Di awal scene, saya mendapati Jupe dan Erlando yang sedang bertengkar. Jupe memakai pakaian ala Si Manis Jembatan Ancol, gaun putih sampai selutut lengkap dengan belahan dada yang mencolok. Dan keaduhaian itu belum seberapa ternyata. Manakala banyak sekali eksplorasi sensualitas yang berlebih.
Jupe-DP selalu memperlihatkan belahan dada, ada pula adegan seorang perempuan yang menyentuh selangkangan lelaki dengan ujung jari kakinya, belum lagi terlihat (maaf) putingnya dalam sebuah scene. Ini memang hal yang tidak perlu dipermasalahkan dalam film semacam ini. Sebab dari kacamata realitas, banyak pula perempuan yang berpakaian seksi terutama yang bekerja di sektor marjinal (baca: dunia malam).
Realitas film ini juga ditunjukkan dengan fasih lewat dialog super gamblang dengan diksi sarkastik yang memang lumrah dimoncongkan sebuah komunitas. Sebutlah lonte, anjing, bangsat, burik, bintil, bencong, atau kata-kata lainnya. Dan karena film ini tidak dijelaskan untuk penonton umur sekian dan untuk kalangan mana. Jadi jelas, tontonan ini untuk kalangan urban metropolis dan modern yang (baca: bukan penonton KCB).
Bagaimana dari segi teknis, Kakang Saman? Karena saya menonton AGK tanpa ekspektasi, jadi saya sudah bersiap-siap. Teknis sangat terlihat ala kadarnya. Setting panggung yang harusnya wah, setting di private room, ruangan pub, bahkan ruangan rumah, begitu miskin akan tata pencahayaan.  Gelap dan remang memang hal yang patut ditanamkan dalam film horor, namun inilah tipikal film horor nasional: dibuat simpel dengan bujet yang minim.
Editing pun terlihat sangat bergaya Nayato. Bikin sakit mata, ala-ala video musik tahun 90-an yang sengaja dikacaukan untuk nilai seni.Teknis ini aman dipakai satu dua kali. Namun teknis macam begini selalu dipakai sineas kita untuk menutupi efek visual yang kurang. Adegan tarian Jupe yang seharusnya tegang dan erotis tiba-tiba menjadi semacam scene seorang perempuan rocker. Adegan pembunuhan pun sangat Indonesia sekali alias ngasal. Tahu-tahu itu orang sudah tepar, mati, dengan berdarah-darah.
Mau tahu apa yang paling menggelikan? Entah kurang bujet atau karena dikejar deadline, gambar montage dicomot begitu saja dari kamera handphone. Ini terlihat sekali dari blur-nya scenemontage (pemandangan) yang berupa: pemukiman penduduk yang terlihat dari atas. Terlihat seperti gambar yang diambil lewat HP dari atas apartemen. Dan ini dimasukkan sebelum adegan Lilis dan Aji di rumah. Ada pula montage malam dan bulan (nuansa angker seperti Twilight). Terlihat seperti mengambil gambar dari film lain. Yah, ini hanya perkiraan saya. Saya bisa saja keliru, kan?
Lalu apa yang paling mengganggu lainnya? Ya, adanya scene perkelahian beneran yang tiba-tiba dimasukkan begitu saja di film. Lengkap dengan tulisan (kira-kira): scene perkelahian asli saatshooting. Wah, saya mau maki-maki pas ada ‘acara’ kayak beginian.
Seumur-umur nonton film, baru ada yang kayak beginian. Bahkan satu-satunya film di dunia ini yang ada aksi menempel sisa scene ‘tidak layak pakai’ itu ke dalam film utuh. Lain halnya jika dokumenter, ini kan, film fiksi. Alangkah bagus kalau scene itu dihilangkan (dan teks itu juga dihilangkan). Alangkah lebih bijak memasang scene itu di akhir film saja seperti film-film pada umumnya yang beberapa memasang adegan gagal.
Dari fakta ini tergambar jelas betapa si produser ini berhasil memuaskan dahaga para penonton yang kepingin tahu ‘adegan fighting’ itu. Meski adegan itu berhasil hingga membuat penonton awam ribut dan cengo, namun bagi orang kayak saya pasti mikir: apa-apaan?
Helfi Kardit selaku sutradara AGK memang familiar di telinga saya. Filmnya yang pernah saya tonton di bioskop adalah Lantai 13 (2007). Dan itu adalah horor yang menurut saya bagus. Apa mungkin Helfi ‘takluk’ atas permintaan Shankar karena alasan asal laku? Saya juga mengacungi Helfi dua jempol untuk filmnya Mengaku Rasul (2008) yang dibintangi Ray Sahetapy. Meski terkesan gambar sinetron, namun penyutradaraannya terbilang cukup bagus dan nuansa thriller-nya terasa.
Namun film AGK ini tidak melulu cacat. Mengangkat kebudayaan nasional memang bagus. Jupe-DP pun bermain lumayan bagus. Terutama Jupe, karena ia adalah pemeran utama (karakter Lilis mendapat porsi lebih banyak daripada Neneng). Beberapa dialog dan scene pun mengundang empati. Bagaimana saya bisa merasakan kecemburuan Lela pada saudara kembarnya, bagaimana kekesalan Neneng ketika posisi primadonanya digantikan Lilis  ’palsu’. Dan satu dialog yang menurut saya bagus “tarian karawang telah disalahgunakan,” ucap Lilis palsu’. Sisi manusiawi pun digambarkan cukup baik yakni Lela yang psikopat, Aji yang depresi, atau Neneng yang haus kuasa.
Sayangnya film ini memang film horor yang  tentu saja tidak masuk akal. Saya sempat membayangkan kalau film berlatar goyang Karawang ini dibuat drama oleh Nia Dinata atau Nan Achnas dengan bintang Jupe-DP, pastilah akan bagus. Dan keseksian keduanya tidak akan ‘sia-sia’, melainkan bernilai. Yaitu pemaparan realitas dengan tujuan mulia: mengritik keadaan sosial kalangan minoritas. Tidak semata menjual ragawi, kata-kata sompral atau perkelahian gak jelas, yang nggak bisa dinilai asli nggaknya hanya untuk sebuah KEUNTUNGAN.
Semoga produser film tanah air kita bisa lebih waras ke depannya. Dengan membikin tayangan film berkelas, dan memiliki esensi, bukan sensasi-murahan.
#Salam kepo#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KepoErZ silahkan untuk meninggalkan komentar